Wednesday, June 21, 2017

Working Day dan Sedikit Perbedaan Budaya Soliter Jepang-Indonesia


Basically hari ini ga ada hal luar biasa yang bisa dilakukan sih karena hari kerja. Kamu bangun pagi-pagi, mandi, ke kantor, ngerjain kerjaan, tiba-tiba dah malem, balik ke kosan, capek, tidur.

Pagi-pagi di stasiun Yoyogi-Uehara ketemu anak-anak kecil (sekitar 3-5 tahun) sekolah. Aku nggak tau apa kerjaan sekolah mereka tapi kok seems fun. Banyak yang bilang pendidikan awal di Jepang bukan diajari baca tulis, tapi diajari gimana manner yang baik. Dan sepertinya itu benar. Ini bukti autentik mereka diajarin cara ngantre, walaupun ya namanya anak kecil kadang ga bisa diatur dan malah ngobrol sendiri.

Anak-anak kecil belajar ngantri. Sekolah pake seragam bebas
Di sebelah kiri ada mesin otomatis buat beli tiket.



Bisa lihat di ujung kanan. Itu adalah gateway otomatis masuk buat masuk stasiun.
Kamu harus nempelin SUICA/PASMO card, atau ngescan karcis manual di sana.
Tertarik sekolahin anak Anda di Jepang?
Setelah itu, sisa perjalanan adalah daily commute biasa. Dipenuhi bapak-bapak dan mas-mas salaryman berjas, celana hitam, sepatu pantofel, tas jinjing. Dan populasi mereka banyak sekali di commuter kereta apalagi pagi-pagi sekitar jam 7-8. Kadang ada mbak-mbak juga yang lagi berangkat kerja. Aku nggak ngerti kenapa ga nemu populasi ibu-ibu/mak-mak di sini, mungkin working mother bisa menjelma dengan dandanan super muda jadi kelihatan seperti mbak-mbak? I dunno.

Sampe di kantor, aku ngerjain ngelanjutin rencana pekerjaan kemarin. Investigate how external APIs are used in applying OCR in Multibook's case. Aku coba 6 tools OCR masing-masing, tidak gampang juga karena mereka butuh banyak dependensi supaya OCR service mereka bisa dijalanin di laptopku, atau di-cloud mereka dengan SDK yang mereka sediakan.

Hari ini aku berhasil mencoba 6 tools untuk OCR: tesseract, ABBYY OCR SDK, nhocr, Google Vision (Google Cloud Platform), Amazon Rekognition, dan Free OCR API. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Ada yang bayar dan ada yang gratis. Tapi biasanya good solutions come up with good prices too.

Captions di depan kantor. Multibook di lantai 9.
Tiba-tiba aja udah jam 7 malam. Aku pulang. For simplicity, aku putuskan beli Suica card di stasiun Shinagawa biar ga perlu beli tiket ulang tiap kali mau commute. Dengan Suica card, tinggal isi saldo aja, dan tinggal tempel di stasiun kalo mau ke mana-mana. Kalo saldo abis, tinggal isi ke mesin otomatis di stasiun terdekat. Ini jauh lebih simpel dan menghemat waktu.

Aku beli Suica card dan kuisi 2000 yen (220.000 rupiah).

Perlu diketahui bahwa kereta api lokal Tokyo (JR Line/kereta biasa atau Tokyo subway/kereta bawah tanah) sangat rame apalagi pas rush hour. Orang-orang seakan tumpah semua di kereta, di stasiun, di mana-mana. Ini kataku lebih beradab dan lebih manusiawi daripada Jakarta yang semua orang tumpah di jalan dengan kendaraan pribadinya masing-masing. Lebih baik crowded di kereta yang jalan tepat waktu, reliable, dan akurat, daripada kejebak macet di Jakarta yang kita nggak tau kapan bakal sampe kan? Macet di Jakarta jauh sangat ga jelas.

Kereta ketika rush hour. Manusia kayak dikandangin.

Penuh sesak. Mau masuk ke dalam situ?
Sampe di stasiun Yoyogi-Uehara jam 8. Dan sebenernya udah buka dari jam 7 tapi aku belum minum apapun. Aku mampir makan dulu di sebuah restoran fast food Amerika di stasiun Yoyogi-Uehara.

Aku dapet ini cuma 380 yen. Sementara makan Udon normal di warung biasa, 500 yen.
Burger lebih murah dari makanan biasa? Ya. Aku tak tahu. 
Ada yang menarik yang bisa diambil di tempat-tempat makanan Jepang. Banyak orang bilang orang Jepang individualis. Kalo emang dilihat dari bagaimana cara mereka jalan di stasiun dan di tempat-tempat umum kayak tempat makan, mungkin bisa ditarik kesimpulan seperti itu. Mereka cenderung jalan cepat sekali di stasiun, kayak mereka udah punya objektif mau ke mana, dan semua orang banget jalan cepat ga bergantung umur, kakek-kakek pun jalannya cepat banget. Biasa mereka jalan sendirian di stasiun. Mungkin ini yang menjadikan masyarakat Jepang dianggap individualis. Padahal sebenernya nggak juga. Karena nggak harus kan kita 24 jam harus bareng sama orang? Like, we have our self-agenda, right? Ini beda dengan budaya Indonesia yang cenderung lebih soliter, ke mana-mana bareng, atau nyari temen.

Begitu juga di tempat makan, cara mereka nempatin kursi pun, seakan-akan ini udah wajar makan sendirian di tempat makan. Banyak kursi single yang bisa kamu pake, dan itu sendirian, dan it's okay. Jadi kupikir, being alone in Japan is a really normal thing. I think this place is really safe and comfortable for introverts. Kita bisa lihat apa yang terjadi sebaliknya di Indonesia merujuk ke tweet-ku beberapa waktu yang lalu:

https://twitter.com/luqmanarifiin/status/847521894689497089

Kasus yang terjadi saat itu adalah: aku beberapa kali makan di KFC sendirian, dan makan porsi besar mirip porsi 2 orang. Aku makan sendiri. Di sekitar, semua orang datang secara berkelompok, 3-5 orang, bawa keluarga, atau bawa temen. Dan ketika aku makan, mereka melihat dengan cara yang aneh seperti berekspektasi bahwa makan sendirian adalah hal yang aneh.

Beberapa obrolan serupa juga sempet terjadi antara aku dan temenku.
Aku: "Apa salahnya makan sendiri? Emang kenapa gitu?"
X: "Ya masa makan sendiri, kaya ga punya temen aja."

Dan sampe sekarang aku masih nggak ngerti apa salahnya makan sendiri di tempat makan. Mungkin dalam hal ini, aku lebih prefer kebiasaan orang Jepang yang nggak terlalu soliter dan punya agendanya masing-masing. Menurutku itu cenderung lebih mandiri dan tidak perlu banyak kebergantungan dengan orang.

Selesai makan, aku mampir dulu ke convinience store buat beli stok air minum dan beberapa snack. Dan nemu ini.

Barang haram. Jangan dimakan.
Sekian! See you tomorrow.

Related Articles

1 comment:

  1. Tq luqman
    Sy dah baca blog mu

    Lanjutkan se sempat mu

    Berat juga kerja di jpn

    Met berkarya
    Love u

    ReplyDelete