Nggak terasa
kepengurusan CASA kami tinggal
sebentar. Nggak lama lagi kita akan lepas jabatan, hanya soal waktu. Setelah itu kendali klub astronomi ini pun
menjadi milik adek kelas 4.
Walaupun
begitu, gue ngerasa kami belum ada apa-apanya, belum ada kerjanya. Buktinya belum
ada perubahan yang signifikan sejak gue dilantik sampe masa sekarang. Kegiatan rutin
harian pun rasanya lebih sering kosongnya ketimbang adanya. Gue ngerasa kurang
bertanggung jawab soal ini.
Seharusnya Beginilah Biologi, Ilmiah Tapi Tak Menggurui
Jujur gue
paling benci sama biologi entah gimana. Gue pikir ngga’
ada guna yang realistis buat anak SMA kaitannya sama segala hal berbau biologi yang
dipelajari di kelas.
Suatu saat
pas ulangan mid biologi ada soal begini, kebetulan soalnya essay:
Jelaskan proses bertemunya sari makanan dan
oksigen di mitokondria!
Robert
T. Kiyosaki bercerita dalam buku klasiknya Rich’s Dad Guide to Investing
tentang dua ayah yang dimilikinya. Ayah pertama adalah ayah kandungnya sendiri,
bekerja untuk pemerintah sebagai gubernur negara bagian Hawaii, AS dengan gaji
yang tentu tidak kecil. Dia menyebutnya ayah miskin. Sedangkan ayah kedua
adalah ayah temannya, Mike. Seorang pengusaha properti sukses ternama di
Amerika Serikat yang menguasai beberapa pencakar langit di negerinya. Dia
menyebut ayah Mike, ayah kaya.
Kebanyakan
manusia yang sukses menulis planning-planning mereka dalam selembar
kertas dan membiarkan apa yang mereka tulis membenam jauh di otak bawah sadar
mereka, setelah puluhan tahun lamanya dan mereka sudah menjadi orang-orang penting
di bidangnya, mereka menemukan kembali selembar planning mereka dan
sadar bahwasanya kekuatan dari planning, begitu mempesona.
Tidak
ada kaya dadakan, walaupun itu diperoleh dengan menang judi atau lotre. Para
penjudi di Las Vegas sering kali mendapat US$10.000 hasil jackpot judi mereka namun dengan cepat apa yang mereka dapatkan
lenyap begitu saja. Itu karena mereka tidak memiliki planning masa depan
mereka dan hanya menggantungkan hidup pada spekulasi. Itulah sebabnya uang
begitu cepat hilang dari tangan mereka.
Sebagai
generasi muda Indonesia
yang penuh dengan ambisi mengubah dunia, marilah kita mulai menulis planning-planning
kita sedetail mungkin. Bukan sekadar mimpi atau angan-angan belaka
tetapi juga disertai dengan usaha-usaha menggapai planning yang telah
kita susun.
Sesuai
dengan sabda Rasul, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
Ungkapan ini begitu tepat dengan prinsip mental kaya yang membenci
menengadahkan tangan mereka. Mengapa demikian? Tangan di bawah identik dengan
sifat kemalasan, tidak mau berusaha, dan tidak mau mengubah diri mereka. Orang bermental
kaya selalu bekerja keras dan cerdas, mengusahakan apa yang ditargetkan oleh
diri mereka sendiri maupun oleh perusahaan mereka, tidak mudah menyerah dan
lepas tangan begitu saja.
Ini
bukan berarti kita harus membenci para pengemis, anak jalanan, dan
menelantarkan fakir miskin, namun marilah kita merombak mentalitas kita, mengubah
pola pikir kita menjadi pola pikir yang produktif serta kreatif.
Mental
kaya pertama adalah menghargai waktu. Semua orang kaya sangat menghargai waktu.
Mereka menganggap waktu itu begitu penting. Waktu bagi mereka adalah modal yang
gratis, bisa dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin, namun akan terlewat begitu
saja bila dibiarkan. Orang bermental kaya menggunakan waktu mereka dengan
produktif sedangkan orang bermental miskin menghabiskan waktu mereka dengan
konsumtif. Orang bermental kaya menghasilkan sesuatu dengan waktu yang mereka
miliki, orang bermental miskin tidak berbuat apa-apa.
Sehubung
dengan sangat bermanfaatnya waktu maka banyak bermunculan kalimat-kalimat
mutiara tentang waktu. Ali bin Abi Thalib bilang“al-Waqtu kasy syaifi.” Orang barat
punya “Time is money.” Rasulullah SAW
pun bersabda dalam hadisnya bahwasanya bila hari ini lebih buruk atau minimal
sama dengan hari kemarin maka kita termasuk orang yang celaka dan merugi.
Ketika
Steve Jobs -mantan CEO Apple- diberi pilihan transportasi pesawat dari Los
Angeles menuju New York seharga
US$500dengan
waktu tempuh 5 jam, sedangkan rekannya merekomendasikan bus dengan tujuan yang
sama seharga US$100 dengan
waktu tempuh 5 hari, Jobs lebih memilih pesawat. Orang bermental kaya seperti
Jobs sangat tidak mau kehilangan waktu produktifnya hanya untuk menunggu
tibanya bus ke tujuan. Mereka tidak kehilangan uang mereka karena lebih memilih
pesawat daripada bus. Yang mereka lakukan adalah membeli waktu dengan uang,
alias menukarkan sejumlah besar uang mereka dengan waktu yang lebih produktif. Orang
bermental kaya menggunakan waktu mereka dengan cara yang lebih produktif
daripada orang bermental miskin.
Bukti
berharganya waktu bisa juga kita tengok sejenak ke negara Matahari Terbit.
Akhir-akhir ini bangsa mereka berhasil mengembangkan teknologi transportasi
kereta api Shinkasen dengan
kecepatan melebihi 300 km/jam! Mereka mengembangkan teknologi ini dengan
menciptakan sistem rel menggunakan magnet yang tidak harus bersentuhan ketika
kereta meluncur sehingga gaya gesek antara roda kereta api dan rel pun nyaris
nol. Faktanya juga, jadwal keberangkatan dan tiba kereta api ini tidak pernah
meleset lebih dari 5 detik. Subhanallah. Begitu menghargainya bangsa
Jepang dengan waktu sehingga mereka rela dengan susah payah mengembangkan
teknologi mutakhir mereka hanya untuk
selisih waktu beberapa detik. Orang Jepang sadar, waktu begitu berharga di mata
mereka sehingga mereka meng-upgrade jenis transportasi yang satu ini.
Merekalah
contoh orang-orang bermental kaya. Mereka tidak mau kehilangan detik-detik
produktivitas mereka hanya karena sesuatu hal yang kurang berguna, seperti
bengong di perjalanan. Mereka punya banyak tugas dan pekerjaan yang harus
diselesaikan tepat waktu sehingga untuk urusan transportasi sehingga mereka
tidak mau membuang waktu emas mereka. Marilah kita mulai menghargai waktu
produktif kita!
Itulah
sebuah pertanyaan penting yang wajib dilontarkan kepada setiap generasi muda Indonesia, penerus
generasi yang memegang kendali penuh terhadap kemajuan bangsa ini. Semua orang
bisa dipastikan lebih memilih hidup kaya daripada hidup miskin, lebih memilih banyak materi daripada sedikit materi. Terlepas dari kadar keimanan
dan ketaqwaan yang dimiliki orang tersebut. Hal tersebut terjadi karena manusia
memiliki sifat mencintai harta.
Salahkah
kita apabila berusaha untuk kaya? Tidak. Rasulullah SAW Nabi kita saja melamar
Khadijah dengan mahar 100 unta. Jumlah itu bukan jumlah yang sedikit. Itulah
bukti bahwasanya Nabi kita adalah orang kaya. Lantas, apa alasan kita untuk
tidak menjadi kaya?
Pada
kesempatan
kali ini saya akan membeberkan beberapa poin penting seputar mental
kaya. Saya akan membagi-bagi poin tersebut dalam beberapa post dalam blog ini, soalnya panjang banget.
Nih.. di posting kali ini gua mau nge-post temen gue gan.. Sumpah mirip banget Bruno Mars, pendendang lagu "Just the Way You Are". Gak salah lagi, udah banyak ngakuin kemiripannya, jadi ini bukan sekedar mata gua yang salah ato kurang jeli ato gimana.
Kali ini penyelenggaranya Undip. Universitas keren di Semarang. Lomba ini sifatnya individual. Ga kerja tim.
Setelah insiden lomba di ITS kemaren, gue ga yakin dipercaya lagi sama pihak sekolah buat ngewakilin di lomba ini. Eh, ternyata gua salah. Beberapa minggu yang lalu gue dapet tawaran ikutan tes buat lomba ini. Ya, karena ini kesempatan makanya gua ambil aja.
Sedikit cerita tentang lomba ITS, bulan lalu ada lomba yang penyelenggaranya ITS, dan gue gagal mbawa nama sekolah di ajang ini. Entah kenapa pastinya banyak faktor. Dan tentunya banyak dari faktor tersebut gara-garanya gue sendiri. Gua terlalu emosional pas lomba. Gua ga tenang ngerjain soalnya. Gua kurang kerjasama sama kakak kelas setim gua (Okky). Dan akibatnya gue gagal.
Setelah insiden itulah ditambah kebetulan ada kesempatan dari Kepsek buat UMC (Undip Mathematic Competition), gue nyoba mulai take action ketimbang omong kosong.
Yaudah dan beginilah semua cerita dimulai.
Pagi itu gue berangkat bareng lima orang lainnya. Ada Luthfi Ahmad sama Rizqi Sina. Sedangkan ceweknya ada Heralda Fawrin, Zia Naziha, sama Anisa Fauzi. Semuanya pemain lama, kecuali si Sina sama Anisa.